Studi Harvard terhadap lulusan tahun 40-an menunjukkan bahwa mereka yang hidup sukses
bukan yang memiliki IQ tinggi tapi 'kuper' dan egois, melainkan kendati IQ tidak tinggi
namun memiliki emosi cerdas: banyak teman, pandai berkomunikasi, berempati tinggi, dan
tidak temperamental.
UNTUK sukses dalam hidup, peran IQ ternyata hanya 20 persen. Selebihnya oleh kecerdasan
emosi (Emotional Intelligence/EI). Marsha Sinetar (tahun 2000) menemukan pentingnya
peran kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence). Selain IQ, kecerdasan sosial lainnya juga
bisa ditingkatkan.
Di dunia, IQ rata-rata meningkat 20 persen. Namun kenaikan IQ ternyata berbanding terbalik
dengan kelakuan manusia (Lawrence E.Shapiro). Tanpa cinta, atensi, dan apresiasi dalam
hidup, sebagaimana lazim dalam pola asuh yang keliru, melahirkan anak-anak yang tidak
cerdas emosinya.
Peran ibu sangat besar. Ibu Jepang menjadi simbol keberhasilan anak (”Silent Revolution”).
Bagaimana ibu menumpahkan seluruh waktu, naluri, dan kemampuannya untuk sepenuhpenuhnya
mencerdaskan anak. John Gottman & Joan DeClaire (1977) menawarkan kiat-kiat
membesarkan anak agar meraih kecerdasan emosi yang tinggi.
Anak dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi memiliki ciri-ciri:
1. mantap secara sosial; mudah bergaul;
2. tidak lekas takut atau gelisah;
3. mudah melibatkan diri dengan orang lain atau masalah;
4. bersedia memikul tanggungjawab;
5. kehidupan emosinya kaya;
6. merasa nyaman dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia pergaulannya.
Anak yang tidak cerdas emosinya berlawanan dengan ciri-ciri itu.
Agar IQ tinggi perlu gizi cukup. Namun agar emosi cerdas gizi saja tak cukup. Diperlukan
kehidupan yang indah (“Good food, good life” motto NestlĂ©). Elemen emosi dapat
ditingkatkan pada berbagai tingkat usia lewat pola asuh yang tepat. Prinsip dasarnya,
1. memotivasi diri;
2. ketahanan menghadapi masalah;
3. mengendalikan emosi;
4. menunda kepuasan;
5. mengatur kondisi jiwa.
Untuk itu sedikitnya perlu waktu satu jam penuh setiap hari ibu berdekatan dengan anak
batitanya.
Banyak cara dapat dilakukan untuk mengasuh 'dengan hati'. Menggunting gambar hewan,
belajar berhitung dengan kartu (dotscard), bersajak, mendongeng, memberi nama pada emosi
yang sedang dirasakan; belajar membaca mimik wajah; menghibur anak di kala sedih;
mendengar dengan penuh empati; menyadari seperti apa emosi anak.
Tak kurang penting peran ayah. Bermain dengan ayah merupakan kebutuhan yang tak
tergantikan dengan cara apa pun (”Fatherhood projects”). Basic secure anak akan tumbuh bila
waktu kecil anak memiliki pengalaman bermain dengan ayah.
Agar emosi anak cerdas, perlu ditanamkan sejumlah kemampuan agar anak
1. terampil berempati;
2. jernih mengekspresikan emosi;
3. terbiasa memahami orang lain;
4. mahir mengelola emosi;
5. lekas beradaptasi;
6. disukai banyak orang;
7. terlatih mencari solusi, bermain bersama, gigih, suka menolong, tahu cara
menghormati orang lain.
Beberapa tips agar tinggi EI anak pernah juga diajukan Maurice J.Elias (1999), antara lain,
1. mendidik anak mengenali perasaan sendiri maupun orang lain;
2. menunjukkan sikap empati dan memahami pendapat orang lain;
3. mengajarkan kemampuan mengelola emosi dan
4. menghadapi segala hal secara positif; dan
5. menunda emosi agar meraih sukses.
Satu hal perlu dicatat pesan Dorothy Law Nolte (1954) ihwal bagaimana sehat membesarkan
anak (“Children learn what they live”) yang saya kira masih relevan hingga sekarang, yakni,
bila anak dibesarkan
1. dengan celaan kelak ia akan gemar memaki;
2. dengan permusuhan ia akan suka berkelahi;
3. dengan cemoohan, ia akan rendah diri;
4. dengan toleransi, ia pandai menahan diri;
5. dengan dorongan, ia belajar percaya diri;
6. dengan pujian, ia akan menghargai orang lain;
7. dengan perlakuan baik, ia akan berlaku adil;
8. dengan rasa aman, ia akan menaruh kepercayaan pada orang lain;
9. dengan dukungan, ia akan meghargai diri sendiri;
10. dengan kasih sayang, ia akan membangun persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar